Pembentukan Persepsi dan Respon

Suatu siang, ketika sedang berada di jalan raya, tiba-tiba ada ambulance yang terdengar (atau terlihat?) akan lewat. Aku jadi ingat suatu hal. Tentang human information processing, yang dulu oleh dosen mata kuliah ergonomi industri-ku, disingkat HIP. Kenapa bisa teringat? Ya karena dulu ketika aku berada di semester 3 dan mendapat kuliah ini yang sedang membahas HIP, beliau mencontohkan dengan bagaimana seseorang memproses informasi mengenai ambulance.

gambar diambil dari: http://www.clipartlord.com/

gambar diambil dari: http://www.clipartlord.com/

Kenapa tadi aku katakan, ‘ada ambulance yang terdengar’? Karena kamu bisa mengenali bahwa itu adalah mobil ambulance meskipun tidak melihatnya, dari suara sirinenya. Suara sirine inilah yang dalam bahasa HIP, disebut sebagai stimuli. Begitu juga dengan warna lampu sirine yang menyala-nyala, ia adalah salah satu stimuli. Pun sama halnya dengan cat mobilnya yang keseluruhan putih. Ia adalah stimuli. Maka tadi kukatakan, ‘atau terlihat?’ karena bentuk stimuli lainnya adalah melibatkan indera penglihatan manusia.

Penentuan bentuk stimuli yang dimiliki oleh mobil ambulance ini juga bukan lahir dari iseng-iseng, coba-coba atau ngasal. Tapi dari pertimbangan yang berbekal pengetahuan bahwa indera penglihatan juga pendengaran pada manusia, akan mudah diambil fokusnya dengan detail seperti apa. Kamu akan mempelajarinya khusus satu mata kuliah sendiri hanya untuk bahasan ini.

Baik, aku akan lanjut ke bahasan utama yang ingin kutulis di sini. Dari stimuli yang beragam ini, yang kalau dari contoh mobil ambulance stimulinya adalah suara sirine, warna lampu sirine dan warna mobil, akan terekam oleh otak di suatu ‘kotak sementara’ yang disebut short term memory (STM). Sesuai dengan namanya, short term, artinya informasi yang terekam dalam kotak ini sifatnya mudah hilang, sebentar saja, karena hanya dibutuhkan untuk dikelola saat itu juga sehingga tidak disimpan lama-lama.

Berbekal informasi bentuk stimuli yang sudah terekam sementara, otak kemudian memproses untuk mencernanya menjadi persepsi. Dalam tahap ini, jika memang seseorang sudah pernah mendapatkan informasi serupa di masa lalu, otak akan me-recall data dari ‘kotak data’ yang disebut long term memory (LTM). Jadi, jika kamu sudah berulang kali bertemu dengan ambulance di jalan raya, kamu tidak memerlukan banyak waktu untuk mengelola informasi menjadi persepsi, karena LTM yang kamu miliki sudah memiliki informasinya.

Tahap selanjutnya setelah pembentukan persepsi adalah pemilihan respon. Disinilah bentuk pembuatan keputusan dilakukan. Dari persepsi yang dibentuk, respon apa saja yang bisa dilakukan? Dengan melihat ada ambulance yang akan lewat, apa saja yang bisa dilakukan? Memposisikan kendaraan agar ke tepi? Atau cuek bebek tetep di tengah aja karena jalanan macet? Atau bahkan selfie ala anak muda kekinian? Juga bentuk alternatif respon lainnya yang mungkin muncul.

Dari pemilihan respon yang telah diputuskan ini, kemudian otak akan memerintahkan saraf untuk menggerakkan anggota badan kita untuk melakukan bentuk respon yang dipilih.

Akan tetapi berbeda hal jika ada yang baru bertemu dengan ambulance untuk pertama kalinya dalam hidupnya. Maka ia akan benar-benar berusaha mengenali stimulinya, kemudian dikelola menjadi persepsi. Sayangnya karena LTM-nya tidak menyediakan info tentang bentuk stimuli yang didapat, karena memang belum pernah ia dapati infonya, maka ia mungkin akan sekedar membuat persepsi bahwa ia tidak tau mobil jenis apa itu dan maksudnya apa berada di tengah jalan seperti itu. Mobil dengan suara sirine yang kencang, nyalanya merah bergerak-gerak, dan warna cat mobilnya putih. Maka, di tahap decision making, ia dimungkinkan akan memunculkan alternatif respon: bertanya. Bertanya pada orang lain tentang mobil ‘aneh’ yang baru dijumpainya. Atau bisa juga, respon lainnya, ia akan mencari lebih banyak informasi yang bisa diambil. Bisa saja ia akan menunggu mobil melewatinya dan ia mencari-cari adakah tulisan yang bisa menjelaskan di badan mobil. Atau ia akan menggunakan gadget-nya untuk bertanya pada mbah google.

Ya, bisa saja. Begitu banyak kemungkinan alternatif bentuk respon, dan yang jelas pastinya banyak juga alternatif bentuk persepsi yang dimiliki oleh seorang individu. Bentuk respon dan persepsi yang beragam ini bergantung dari ‘data’ yang ada di LTM seseorang. Maka, data yang tersimpan di LTM benar-benar menjadi hal yang vital, karena ia akan menentukan bagaimana tingkah seseorang di lingkungannya.

Itulah kenapa, sebaiknya orang-orang yang kita jadikan sebagai lingkaran terdalam dari hidup kita adalah orang-orang yang mulia, yang baik, yang positif pemikirannya. Pasti pernah dengar kan? Bahwa seseorang itu bisa dilihat dari lingkungan terdekatnya dalam bergaul.

Mungkin di satu sisi, akan ada suatu penolakan. Masa sama yang kita anggap kurang atau ga baik, terus dijahatin? Oho tunggu. Aku katakan jadikan sebagai lingkaran terdalam, bukan berarti kamu tidak memiliki lingkaran lainnya. Kita bisa memiliki banyak lingkaran, sebesar dan berapa banyak rangkap yang kita mau. Tapi pastikan lingkaran paling dalamnya adalah orang-orang yang baik.

Karena bersama mereka lah, informasi yang terpapar secara sering kepada diri adalah informasi-informasi positif, yang membuat semangat, yang menginspirasi, yang menjadikan kita ingin terus berkembang. Karena seringnya mendapat informasi tersebut, maka informasi postif ini akan tersimpan di LTM, yang kemudian akan membantu melahirkan persepsi-persepsi yang benar.

Juga, bersama mereka lah, kita akan mendapat saran, nasehat yang memang tidak menyimpang. Coba bayangkan saja, misal sebagai mahasiswa, kalau kamu lebih sering ngobrol dan deket sama orang-orang yang ‘terdepan’ di bangku kuliah, maka ga ada tuh yang namanya males-males. Yang ada, kamu akan terbakar semangat karena kamu taunya temen-temen kamu semuanya rajin. Akan tetapi berbeda hal ketika lebih banyak ngobrol dan deket sama yang sering skip kuliah karena males, kebanyakan main, ga tanggung jawab. Maka kamu akan merasa ga ada yang salah ketika bolos sekali-kali. Karena yang menjadi stimuli yang sering terekam oleh otak adalah kebiasaan yang membolos, tidak tanggung jawab, suka main ga jelas dan lainnya.

Maka, tentu akan berbeda respon yang dilakukan misalnya, ketika mendapatkan stimuli berupa suara informasi dari TU bahwa dosen tidak mengajar. Ada yang melakukan respon langsung ‘cabut’ saat itu juga untuk makan di kantin atau hangout atau nonton. Ada yang melakukan respon menunggu di kelas sambil nyicil tugas. Ada yang melakukan respon membaca buku mandiri. Ada yang melakukan respon cabut ke perpus. Dan lainnya.

Sehingga tidak heran ketika bapak dosen melanjutkan dengan cerita, masih tentang ambulance. Karena beliau 10 tahun bersekolah dan melakukan penelitian di suatu kota di Amerika, maka beliau menjadi terbiasa dengan budaya di sana. Salah satunya tentang bagaimana respon orang-orang yang ada di jalan ketika mobil putih ini akan lewat. Begitu sirine terdengar, semua pengendara dengan begitu sigapnya menuju tepi dan berhenti, sehingga jalan di tengah benar-benar kosong. Lalu, berbeda cerita ketika beliau kembali ke negeri tercinta ini. Begitu mendengar suara sirine, respon otomatis yang dikeluarkan beliau adalah sesegera mungkin menuju tepi. Karena bekal informasi yang tersimpan di LTM beliau adalah memang seperti itu. Begitu beliau mengendarai mobilnya menuju tepi secepat mungkin, justru yang terjadi adalah……

Klakson dari beberapa kendaraan yang pengendaranya merasa terganggu karena dihalangi. Bahkan, ruang kosong di jalan yang terbentuk karena bapak dosen menuju tepi, langsung diisi oleh pengendara di belakang. Alhasil, mobil ambulance, tetap dengan sirinenya yang bunyinya meraung-raung, terjebak di belakang. Sulit untuk maju, karena tidak tersedianya jalur kosong.

Kenapa bisa seperti itu? Karena data yang tersimpan di LTM sebagian besar orang Indonesia adalah pengetahuan bahwa ketika ada mobil ambulance, tidak wajib kok harus secepet itu menepi, sehingga bentuk respon yang diambil sangat berbeda dengan bapak dosen yang tadi ku ceritakan.

Then, sekali lagi, setiap orang memiliki bentuk persepsi dan alternatif respon yang berbeda sesuai dengan data yang ia simpan di LTM-nya. Jadi, tolong camkan, bahwa kesimpulan dari semua ini adalah: perhatikan dan pilih orang-orang spesial yang akan memberimu stimuli baik dan positif sebagai lingkaran terdalam pertemananmu. Karena dari merekalah kamu akan mengisi data dalam long-term-memory dengan kualitas prima.

5 thoughts on “Pembentukan Persepsi dan Respon

  1. Iya, bener bgt aku bersyukur dulu bertemu dg temen2 DT.

    Pertanyaanya, mengapa LTM orang Indonesia bisa begitu? kalau mw dikatakan orang Indo tidak ‘terdidik’ ngga juga menurutku.

    • itu untuk kasus mobil ambulance ya kak kalau LTM yang di tulisan..
      nah simpelnya gini, inget2 deh pas kita sekolah di sd, diajarin kan buat buang sampah di tempatnya misalnya. di lingkungan sekolah pun terus2an dijaga agar anak2 selalu buang sampah di tempatnya tanpa terkecuali, meskipun bungkus permen.
      terus coba lihat berapa persen orang dari angkatan kita pas sd itu yang sampai sekarang masih bener-bener menjaga untuk buang sampah selalu di tempatnya tanpa terkecuali.
      pasti ada beberapa yang udah ga segitu ‘idealis’nya. karena ketika dia dilepas dari lingkungan sekolah yang ngajarin untuk buang sampah di tempatnya, dia ga menemukan itu. misal di keluarganya yg paling sering interaksi, ternyata ibu bapaknya kalau di angkot suka buang sampah sembarangan. Lama-lama yang dia tangkep adalah informasi bahwa ternyata itu buang sampah di angkot itu wajar, bukan sesuatu yang terlalu salah. Akhirnya LTM-nya merekam yang ini. Dan ketika muncul stimuli sampah, persepsi yang langsung muncul pertama kali adalah yang buang sampah di angkot itu wajar.

      Padahal sebenernya dia tau kan sejak sd kalau buang sampah itu harus di tempatnya. Nah ini yang kakak bilang soal terdidik. Memang bukan soal terdidik atau ngga, tapi soal karakter yang membudaya.
      Ohya btw kak, mungkin yang kkak sebut soal terdidik maksudnya terajari kali ya hehe. soalnya pendidikan beda sama pengajaran. pendidikan itu pengajaran + karakter. Kalau yang tadi ku contohin, dia sekedar dapet pengajaran tentang buang sampah, tapi belum menjadi karakter.

      • kalau pendidikan yg tersistem dari pusat, dulu memang belum. tapi sekarang ini aku lihat udah menuju sana. juga, sekarang banyak muncul orang dan komunitas yg membantu ‘mendidik’ dengan caranya. Akhirnya banyak yang terinspirasi dan perlahan kalau udah gitu, semangat pendidikan karakter jdi membudaya…

Leave a comment